Sebuah kemacetan

Setelah pademi, jalanan Jakarta makin riuh, makin keras, lalu lalang kendaraan seakan brutal membabi buta. Macet menjadi hal biasa. Tersendat 1-2 jam, tidak mengapa, ya mau gmn lagi ya ? Sepertinya warga di Jakarta ini bukan hanya mengalami kemacetan di jalanan, kemacetan dalam mendapatkan solusi agar lebih nyaman hidupnya. Sebenarnya menjadi sebuah paradoks bahwa keinginan untuk semakin nyaman, jatuh pada ketidaknyamanan. Contoh, orang memilih memakai mobil karena ingin nyaman, bebas polusi, kalo hujan dan panas terlindung, akhirnya tidak tercapai. Semakin orang bawa mobil, lebih rentan kena macet. Bengong di mobil berjam2, jenuh. Asap polusi dihirup banyak2. Bensin boros, boros uang.

Orang mungkin mengatakan ini pilihan. Mau pakai mobil, motor, atau gowes sepeda lebih kepilihan. Pilihan dipilih berdasarkan hitungan praktis, untung rugi secara ekonomis. Nyaman tidak nyaman. Kekuatan dan stamina badan. Waktu…dan lain2. Kita tidak bs menghakimi seseorang dengan pilihannya. Ada perbedaan cara pandang, atas sebuah hal. Hanya saya melihat pada satu titik, ada kesadaran bersama bahwa pilihan ini akhirnya bukan sebuah pilihan yg bebas. Pilihan ini adalah sebuah arahan secara halus agar kita mengarah ke sana. Bukan lagi sebuah pilihan yg bebas, tapi pilihan yg diarahkan. Apakah ini menuju pada kebaikan, ya akhirnya kita musti kembali menimbangnya. Dengan berjalannya waktu, timbunan pengalaman bermacet2 ria memberikan masukan…lha mustinya kita mau bagaimana. Badan semakin lemah dengan menghirup polusi. Uang boros, karena bensin juga boros. Waktu hilang ga kerasa. Sampai rumah capai, stamina habis. Koq seperti tragedi begini ya ?

Perempatan Harmoni