Saya seperti melakukan sebuah kontemplasi, terus menerus, saat berjalan kaki di seputaran kota Jakarta. Berjalan pelan, terkadang fikiran melayang entah kemana, tetapi kemudian tersadar, berkonsentrasi lagi pada sekitaran yang begitu kaya akan ragam fenomen. Intensiku seolah tak bisa lepas pada suatu kejadian yang berlangsung dalam hitungan detik, atau peristiwa panjang berulang-ulang, atau mungkin sebuah gambar yang tergores di salah satu dinding yang akan ada di situ untuk beberapa lama.
Pengalaman bagai sebuah tangkapan makna. Hanya pengalaman yang berulang akan mengaburkan makna. Karena keseharian menjadi sebuah penghancur makna yang begitu dahsyat. Kalau tdk kembali kita lepaskan kedekatan kita kepada pengalaman tersebut, manusia hanyalah kepingan2 yang berjalan dalam kebekuan pejal tanpa arti. Suatu hal konkret dalam hidup manusia2 urban, yang telah menelan keseharian dalam laku tanpa gores intensi yang berarti. Apakah mereka seperti robot2 tanpa kendali dari kesadaran ? Saya tidak ingin terlalu dalam untuk membuat kesimpulan ini.
Siang itu saya berjalan masuk ke dalam kereta Jabotabek menuju ke Depok. orang-orang penuh memadati kereta kelas ekonomi, meskipun hari itu adalah hari sabtu. Bagi orang-orang kantoran, hari itu libur. Namun pekerja2 informal masih terus bekerja. Tidak peduli apakah hari itu libur atau tidak, karena perut tidak mengenal penanggalan. Tidak mengenal aturan dari pemerintah, tidak mengenal aturan agama, tidak mengenal aturan pihak2 otoritas tertentu, dan yang pasti tidak mengenal Tuhan. Hanya taraf kesadaran sajalah yang mengerakkan badan mereka untuk segera bekerja, sehingga hari itu mereka dapat uang, dan mengisi penuh perut kosong mereka.
Ada tatapan-tatapan kosong yang saya temui diantara orang2 itu. Dia duduk pas di pintu, tangan terkait pada pegangan pintu, angin keras menampar mukanya. Matanya menghadap ke depan dengan kekosongan yang tak bisa kuraba. Kemudian Terdengar kekeh-kekeh anak kecil yang mencoba menghibur ibu mereka yang dari tadi melamun. Pedagang-pedagang yang menjajakan dagangan, sembari matanya melirik kekiri dan kekanan, untuk mendapatkan sedikit keterbukaan emosional antara dia dan calon pembelinya. Mendorong gerobak dagangannya, pelan-pelan menerobos kepadatan. Anak-anak ABG yang saling berkerumun, bercanda, mengobrol membicarakan idola2 mereka, dengan handphone2 di tangan. Kemudian pengamen2 buta masuk. Membawa tape recorder yang di talikan di leher sehingga mengantung sampai di perut. Tape mengeluarkan suara musik keras, kemudian pengamen itu menyanyikan pada corong mix yang dia pegang.
Angin masuk dari pintu yang memang sudah tidak bisa di tutup lagi. Cahaya matahari bersama dengan angin memasuki gerbong dengan pedar cahayanya, begitu unik, membuat lorong menjadi sedikit terang meskipun berjejal orang. Saat kereta berhenti, hawa menjadi panas. Suhu tubuh orang saling menyatukan diri, sehingga panas menjadi tak tertahankan. Kemudian akan sejuk kembali setelah kereta berjalan. Angin menyapunya seakan semula tak terjadi apa2.
Read more of this post