ilalang di belakang kantor

Sedikit pemandangan di belakang kantor kami. Saya ambil memakai kamera analog kecil saya, dengan film expired.

Menyenangi hamparan rumput2 ilalang tinggi yang memenuhi pelataran tanah yang masih kosong. Background apartment Taman Rasuna, perkantoran Rasuna, dan wajah senja memberikan sebuah elegi tersendiri saat memandang ini. Hanya terkadang kami tidak peduli dengan sekitar kami, dengan pemandangan yang begitu indah dan nuansa alam yg menarik seperti belakang kantor ini. Mungkin wajah kami adalah wajah2 pekerja yang masih begitu sibuk dengan urusan2 kantor. Mencari uang untuk menghidupi keseharian kami. Dan menurutku, sebenarnya itu tidak ada hubungan sama sekali dengan hilangnya waktu yang hanya untuk beberapa menit saja sekedar untuk berekreasi sejenak di sini.

Ada sebuah keinginan untuk melakukan foto landscape di daerah2 kota yang masih memiliki tanah2/lahan2 kosong seperti ini. Masih banyak area di Jakarta yang memiliki area2 dengan lahan2 kosong seperti di belakang kantor kami. sebuah project yang harus segera di realisasikan sebelum segala sesuatunya berubah, dan di telan pembangunan Jakarta.

Read more of this post

sejenak di mall

Saya berjalan di mall di daerah Blok M. Banyak hal yang saya temui, dan kamera analog kecil ini mencoba untuk merangkumnya.

Mall menjadi sebuah oase tersendiri bagi masyarakat urban modern sekarang ini. Hasrat akan kebutuhan barang, baik primer atau sekunder, terlampiaskan di sini. Kebutuhan untuk sekedar berkumpul, ngobrol, atau memandang pajangan di etalase tanpa keinginan untuk membeli pun terpenuhi juga di mall. Sebagai sarana relaksasi, piknik tanpa harus membuang energi, paling tepat mungkin di mall.

Beragam manusia bertemu, berinteraksi, meninggalkan sebuah jaring kompleks yang teramat unik. Mereka bertemu dalam pertemuan antar wajah tanpa sebuah isi yang sanggup kita urai satu-satu. Interaksi verbal dalam obrolan, diskusi, atau mungkin hanya sekedar bertanya antara satu dgn lainnya dengan mengenai harga barang, misal. Tubuh-tubuh yang berlalu-lalang tanpa pertemuan hanggat di dalamnya. Berpapasan, tanpa saling pandang, konsentrasi di arahkan pada suatu kesenangan yang lain, berkonsentrasi pada objek di luar dirinya yang terus dan terus membombardir.

Lintasan-lintasan manusia yang tiada henti. Terus dan terus memenuhi ruang yang tersedia bagi tubuh-tubuh penikmat ini di mall. Ruang menjadi bukan hanya sekedar ruang bertemu antar pribadi, tercipta ruang2 penikmat antar subjek. Ruang-ruang jualan, ruang-ruang pemikat sehingga setiap hasrat akan terarah kepadanya. Ruang di hidupkan dalam sebuah pengkondisian yang sistematis. Letak dan warna lampu, di samping bentuk2 unik lampu dan framenya yang di sesuaikan dengan nuansa urban modernis. Posisi kaca-kaca, atau cermin yang di tempatkan pada jajaran2 yang memudahkan barang di dalamnya mudah terlihat dari sudut tertentu. Hawa ruangan terjaga, di bantu oleh mesin-mesin pendingin AC yang menyemprotkan udara dingin basah di setiap sela ruang. Warna2 dinding, tempelan2 iklan, penuh, menjadi tautan akan ajakan untuk merasa nyaman di dalam, dan mengarahkan subjek untuk mengkonsumsi apa yang di tawarkan. Inilah ruang2 yang begitu mahal apabila bisa di terjemahkan sebagai uang.

Dan saya menikmatinya.

Read more of this post

bajakan VCD/DVD

Beberapa sudut keramaian, akan kita jumpai beberapa lapak yang menjual VCD atau DVD bajakan. Ini bukan sesuatu hal yang aneh, dan akan banyak kita jumpai di antero Jakarta. Yang di bajak mulai dari film2 barat, film2 timur, video dalam semua genre musik, dan lagu2 yang telah terkompres dalam format MP3. Begitu beragam, dan kiranya dapat memuaskan hasrat para penikmat barang2 bajakan ini untuk sementara waktu.

VCD atau DVD bajakan ini terkemas sederhana dalam bungkus plastik, lengkap dengan cover berwarnanya. Apabila kita lihat sepintas, maka aneka warna ini begitu mencorong, sehingga memikat untuk sekedar melihatnya atau menjamah melihat2 bagian cover dan lempeng disk dalamnya. Harganya cukup murah, yaitu antara 7rb-10rb per keping disk VCD/DVD. Bila di bandingkan dengan aslinya, maka terpaut jauh. Yang asli berkisar antara 35rb-50rb, bahkan lebih. Tetapi kualitas disk yang di pakai memang berbeda. Disk bajakan ini, kualitasnya memang tidak baik. Terkadang saat kita putar memakai player dirumah tidak bisa, meskipun sebelumnya sudah di coba oleh penjualnya dan bisa. Atau setelah 2 kali di putar, setelah itu tidak bisa.

Karena kualitas yang buruk inilah, jangka waktu dan frekuensi pakai menjadi pendek. Penjual2 VCD/DVD bajakan terkadang musti kucing2an dengan petugas penertiban. Tetapi di beberapa tempat mereka sudah mendapatkan jaminan keamanan dari penguasa daerah tersebut. Sehingga apabila ada rutin pemeriksaan dari petugas, mereka sudah tahu info pemeriksaan tersebut sebelumnya. Untuk beberapa waktu mrk beristirahat dari jualannya. Setelah pemeriksaan berakhir, mereka berjualan kembali. Itulah maksud kucing2an tadi.

Selama masih ada pembeli atau masyarakat yang menginginkan barang bajakan ini, maka pembajakan tidak akan pernah dapat di berantas. Karena memang harganya terpaut jauh dari harga asli/originalnya. Untuk kesenangan sesaat, tidak perlu memngeluarkan kocek yang besar. Cukup dengan harga murah hasrat untuk menonton tontonan yang di inginkan kesampaian. Instan, dan cukup melegakan.

Read more of this post

seputar Stasiun Juanda

Ini beberapa foto yang saya ambil di seputar Stasiun Juanda Jakarta. Saya tidak ingin menulis suatu komentar panjang, hanya ingin memperlihatkannya dalam penampakan foto analog ini. Moga memberikan sebuah gambaran secara terbatas pada kondisi di sekitaran stasiun ini, dan secara umum kondisi Jakarta.

Read more of this post

anak Jakarta

Seorang anak jalanan tidur di pelataran Stasiun Juanda Jakarta.

dalam gerbong KRL (1)

Saya hanya takut, beberapa anak berada persis di bibir pintu kereta tanpa pengaman sama sekali. Sewaktu-waktu dapat tergelincir, jatuh ke luar saat kereta melaju kencang. Akibatnya kemungkinan luka berat atau kematian seketika. Takut juga membayangkan hal ini. Antara hidup dan mati seperti dipisahkan layak kulit bawang merah yang begitu tipis. Terpaut cuma beberapa hitungan detik. Begitu mengerikan rasanya.

Umur mereka kisaran 8-14 tahun, memakai baju bebas, dan beberapa masih dalam seragam sekolah. Terkadang mereka bergerak begitu bebas dari satu gerbong ke gerbong lainnya. Atau tetap di tempat yang sama, dan selalu itu, di pinggir pintu kereta. Apabila penumpang begitu penuh, mereka bisa langsung naik ke atas kereta. Duduk di atap, tanpa ada rasa takut dan ngeri. Beberapa kali saya lihat, mereka berjalan kaki di atas atap saat kereta melaju. Ini begitu berbahaya, karena sewaktu-waktu dapat tersenggat tegangan listrik bervoltase tinggi. Atau terpeleset dan jatuh ke bawah. Keberanian yang begitu sembrono. Tanpa berfikir pada keselamatan diri sendiri.

Umur-umur mereka adalah saat perkembangan dalam pencarian identitas diri. Identitas yang di bangun dalam perkembangan dalam kelompok-kelompok, yang sanggup memberikan citra pada diri individu-individu tersebut. Rasa solidaritas, keberanian untuk mengalami hal-hal yang baru, untuk mendapatkan pengakuan baik dari kelompoknya dan orang di luar kelompok itu, menyeruak menjadikan sebuah pilihan yang musti di coba. Apabila seorang dari kelompok, ingin diakui keberaniannya dengan naik ke atas atap atau berdiri di pinggir pintu kereta, maka hal ini akan di contoh oleh yang lain. Hal ini adalah kejadian kolektif. Tiap anak melakukan peniruan terhadap lainnya, sebagai bentuk pengakuan terhadap identitasnya. Dan hal itu akan terus dan terus di ulang, meskipun sudah berulang kali di peringatkan dan dilarang.

Individu di Jakarta adalah individu yang terkesan individualis. Cuek dan semau gue. Sebodo orang bilang, atau sebodo orang mau melakukan apa. Tetapi hal itu tidak bisa di generalisir untuk setiap orang. Beberapa orang mempunyai perhatian untuk sekedar memperingatkan atau melarang, dan siap membantu saat di butuhkan. Terlebih dengan anak2 yang membahayakan diri mereka sendiri ini. Sudah banyak mereka di peringatkan agar jangan melakukan hal yang membahayakan ini. Hanya kembali, anak2 ini cuek dan melakukannya terus. Sehingga orang yang memperingatkannyapun akhirnya nyerah. Kembali bahwa, pendidikan etika musti terus dan terus di berikan pada anak2 ini. Baik di sekolah maupun di keluarga. Dan pengawasan orang tua pastinya.

Read more of this post

dalam gerbong KRL

Saya seperti melakukan sebuah kontemplasi, terus menerus, saat berjalan kaki di seputaran kota Jakarta. Berjalan pelan, terkadang fikiran melayang entah kemana, tetapi kemudian tersadar, berkonsentrasi lagi pada sekitaran yang begitu kaya akan ragam fenomen. Intensiku seolah tak bisa lepas pada suatu kejadian yang berlangsung dalam hitungan detik, atau peristiwa panjang berulang-ulang, atau mungkin sebuah gambar yang tergores di salah satu dinding yang akan ada di situ untuk beberapa lama.

Pengalaman bagai sebuah tangkapan makna. Hanya pengalaman yang berulang akan mengaburkan makna. Karena keseharian menjadi sebuah penghancur makna yang begitu dahsyat. Kalau tdk kembali kita lepaskan kedekatan kita kepada pengalaman tersebut, manusia hanyalah kepingan2 yang berjalan dalam kebekuan pejal tanpa arti. Suatu hal konkret dalam hidup manusia2 urban, yang telah menelan keseharian dalam laku tanpa gores intensi yang berarti. Apakah mereka seperti robot2 tanpa kendali dari kesadaran ? Saya tidak ingin terlalu dalam untuk membuat kesimpulan ini.

Siang itu saya berjalan masuk ke dalam kereta Jabotabek menuju ke Depok. orang-orang penuh memadati kereta kelas ekonomi, meskipun hari itu adalah hari sabtu. Bagi orang-orang kantoran, hari itu libur. Namun pekerja2 informal masih terus bekerja. Tidak peduli apakah hari itu libur atau tidak, karena perut tidak mengenal penanggalan. Tidak mengenal aturan dari pemerintah, tidak mengenal aturan agama, tidak mengenal aturan pihak2 otoritas tertentu, dan yang pasti tidak mengenal Tuhan. Hanya taraf kesadaran sajalah yang mengerakkan badan mereka untuk segera bekerja, sehingga hari itu mereka dapat uang, dan mengisi penuh perut kosong mereka.

Ada tatapan-tatapan kosong yang saya temui diantara orang2 itu. Dia duduk pas di pintu, tangan terkait pada pegangan pintu, angin keras menampar mukanya. Matanya menghadap ke depan dengan kekosongan yang tak bisa kuraba. Kemudian Terdengar kekeh-kekeh anak kecil yang mencoba menghibur ibu mereka yang dari tadi melamun. Pedagang-pedagang yang menjajakan dagangan, sembari matanya melirik kekiri dan kekanan, untuk mendapatkan sedikit keterbukaan emosional antara dia dan calon pembelinya. Mendorong gerobak dagangannya, pelan-pelan menerobos kepadatan. Anak-anak ABG yang saling berkerumun, bercanda, mengobrol membicarakan idola2 mereka, dengan handphone2 di tangan. Kemudian pengamen2 buta masuk. Membawa tape recorder yang di talikan di leher sehingga mengantung sampai di perut. Tape mengeluarkan suara musik keras, kemudian pengamen itu menyanyikan pada corong mix yang dia pegang.

Angin masuk dari pintu yang memang sudah tidak bisa di tutup lagi. Cahaya matahari bersama dengan angin memasuki gerbong dengan pedar cahayanya, begitu unik, membuat lorong menjadi sedikit terang meskipun berjejal orang. Saat kereta berhenti, hawa menjadi panas. Suhu tubuh orang saling menyatukan diri, sehingga panas menjadi tak tertahankan. Kemudian akan sejuk kembali setelah kereta berjalan. Angin menyapunya seakan semula tak terjadi apa2.

Read more of this post

gerobak berjalan di Jakarta

Saya masih menjumpai banyak gerobak di Jakarta. Alat pengangkut bebas polusi dan efisien untuk jarak2 dekat. Di pasar-pasar, terkadang melintas di jalan besar, dan beberapa gang sepi.

Inilah mereka.

Read more of this post

Jatinegara

Hal yang pasti adalah, saya senang apabila bisa foto-foto di Jatinegara Jakarta. Begitu beraneka, banyak warna, dan semburat keragaman yang memikat. Meskipun sudah beberapa kali memotret di daerah ini, saya masih tetap kurang puas untuk bisa meng-capure penampakan yang ada. Masih banyak yang bisa di eksplore, masuk ke dalam selubung2 labirin untuk membuka, butuh kesabaran mungkin.

Saya sadar, terkadang ada perasaan takut untuk masuk ke dalam realitas ini. Dimana interaksi antara manusia dan manusia, begitu juga antara manusia dan alam di dalamnya, terkandung sebuah kekerasan yang tidak saya mengerti. Yaitu pelampauan tingkatan moral dan etika umum yang masih belum bisa saya terima secara lebih terbuka.

Jatinegara terkenal dengan dagangan barang bekasnya. Barang2 yang bagi sebagian orang sudah tidak terpakai, akan di buang dan di tampung oleh beberapa pedagang yang masih bisa memanfaatkannya. Baik bisa untuk di perbaiki sendiri kemudian untuk di jual dalam kondisi barang second yang baik. Atau di jual sebagai mana adanya, yang kemudian si pembeli mungkin dapat memperbaikinya atau di kanibal untuk memperbaiki barang lainnya. Seperti misal adalah handphone, onderdil sepeda, onderdil elektronik dari segala merek dan produk, kaset-kaset baik lokal maupun non-lokal, dll.

Beberapa pasar tiban, memenuhi beberapa area di Jatinegara ini. Yaitu berlokasi di depan stasiun Jatinegara, area di sekitar pasar Mester, pertigaan Jatinegara yaitu pertemuan antara ruas Kampung Melayu, Jatinegara, dan Senen, dan area Jembatan Item. Itulah tempat2 penjual barang-barang bekas. Begitu luas tersebar, dan menjadi pemandangan unik tersendiri.

Saya sempat juga untuk menenggok sekitaran rel kereta yang membelah antara Jatinegara-Manggarai. Slum-slum yang tertutup, dengan penghuni padat di dalamnya. Bedeng-bedeng warung remang-remang yang begitu ramai apabila malam.

Masih sedikit rasanya foto-foto ini. Semoga di kemudian hari, bisa memberikan pemandangan yang lebih banyak dan jelas mengenai Jatinegara ini.

Read more of this post

perempatan Matraman (1)

Motor roda dua tampak menyemut di perempatan Matraman Jakarta. Saya ambil foto ini sekitar di bulan Juli 2010.